BAB V
JENIS PASAR, LATAR BELAKANG MONOPOLI, ETIKA DALAM PASAR KOMPETITIF
5.1 Pengertian
persaingan sempurna, monopoli dan oligopoli
Definisi dari pasar persaingan sempurna adalah suatu
pasar di mana jumlah penjual dan pembeli (konsumen) sangat banyak dan produk
atau barang yang ditawarkan atau dijual sejenis atau serupa. Contoh barang yang
dijual pada bentuk pasar ini adalah beras, gandum, batu bara, kentang, dan lain
sebagainya. Pasar persaingan sempurna merupakan pasar di mana
penjual dan pembeli tidak dapat memengaruhi harga, sehingga harga di pasar
benar-benar merupakan hasil kesepakatan dan interaksi antara penawaran dan
permintaan.
Permintaan yang terbentuk mencerminkan
keinginan konsumen, sementara penawaran mencerminkan keinginan produsen. Dalam
pasar persaingan sempurna, penjual dan pembeli sama sekali tidak mempunyai
kemampuan untuk memengaruhi harga pasar karena sudah ada ikatan batin bahwa
antara penjual dan pembeli mengetahui struktur dan informasi yang ada di dalam
pasar persaingan sempurna
Definisi dari
pasar Monopoli adalah salah satu jenis pasar persaingan
tidak sempurna dimana di dalamnya hanya terdapat satu produsen/ penjual yang
menguasai pasar untuk melayani semua konsumen. Pada jenis pasar ini produsen
baru yang masuk ke pasar umumnya tidak dapat menyaingi produsen lama. Dengan
begitu maka akan terjadi monopoli murni di dalam suatu PASAR yang
dikuasai oleh satu produsen.Produsen atau penjual di pasar ini umumnya tidak
perlu lagi melakukan promosi terhadap brand utamanya karena sudah dikenal
masyarakat luas. Promosi yang dilakukan biasanya adalah untuk pemasaran
produk-produk baru atau produk unggulan mereka.
Selain itu, produsen
di pasar ini biasanya telah membuat hak cipta (hak paten) dan hak ekslusif
untuk produk mereka. Hal ini akan membuat perusahan lain yang sejenis tidak
bisa berkembang.
Definisi dari
pasar oligopoli adalah salah satu bentuk pasar persaingan tidak
sempurna, dimana hanya terdapat beberapa produsen atau penjual dengan banyak
pembeli di pasar. Beberapa contoh industri yang termasuk dalam kategori ini
adalah industri rokok, industri mobil, industri semen, jasa penerbangan dan
lainnya. Dalam menjalankan usahanya, iklan dan promosi berperan sangat penting
bagi oligopolis. Iklan dan promosi akan membentuk persepsi konsumen mengenai
perbedaan satu produk dengan produk lainnya (diferensiasi produk). Hal ini
dikarenakan pada dasarnya oligopolis menjual barang yang relatif homogen
sehingga dapat saling menggantikan (bersifat substitusi walau tidak sempurna).
Oleh karenanya, loyalitas konsumen pada satu produk harus dijaga agar tidak
berpindah ke produk lainnya
5.2 Monopoli dan Dimensi Etika Bisnis
Pasar
monopoli berasal dari bahasa Yunani ,monos, satu dan polein, menjual adalah
suatu bentuk pasar di mana hanya terdapat satu penjual yang menguasai pasar.
Jadi monopoli adalah kondisi pasar dimana hanya ada satu pelaku bisnis atau
perusahaan yang menjual produk atau komoditas tertentu dan ada hambatan
bagi perusahaan atau pelaku bisnis untuk masuk ke dalam bisnis tersebut.
Penentu harga pada pasar ini adalah seorang penjual atau sering disebut sebagai
"monopolis".
Monopoli
adalah suatu situasi dalam pasar dimana hanya ada satu atau segelintir
perusahaan yang menjual produk atau komoditas tertentu yang tidak punya
pengganti yang mirip dan ada hambatan bagi perusahaan atau pengusaha lain untuk
masuk dalam bidang industri atau bisnis tertentu.
Ada beberapa hal yang perlu mendapat
perhatian dalam kaitan dengan ketimpangan ekonomi yang ditimbulkan oleh praktek
monopoli:
1.
Perusahaan Monopolistis diberi wewenangan secara tidak
fair untuk menguras kekayaan bersama demi kepentingannya sendiri dalam selubung
kepentingan bersama.
2.
Rakyat atau konsumen yang sudah miskin dipaksa untuk
membayar produk monopolistis yang jauh lebih mahal
3.
Ketimpangan ekonomi akibat praktek monopoli juga
berkaitan dengan tidak samanya peluang yang terbuka bagi semua pelaku ekonomi
oleh adanya praktek ekonomi itu. Dari masalah ketiga yang ditimbulkan oleh
praktek monopoli artifisial adalah terlarangnya kebebasan kebebasan baik pada
konsumen maupun pada pengusaha.
Etika didefinisikan sebagai
penyelidikan terhadap alam dan ranah moralitas dimana istilah moralitas
dimaksudkan untuk merujuk pada ‘penghakiman’ akan standar dan aturan tata laku
moral. Etika juga bisa disebut sebagai studi filosofi perilaku manusia dengan
penekanan pada penentuan apa yang dianggap salah dan benar. Tujuan etika bisnis
adalah menggugah kesadaran moral para pelaku bisnis dalam menjalankan good
business dan tidak melakukan ‘monkey business’ atau dirty business. Etika
bisnis mengajak para pelaku bisnis mewujudkan citra dan manajemen bisnis yang
etis agar bisnis itu pantas dimasuki oleh semua orang yang mempercayai adanya
dimensi etis dalam dunia bisnis. Hal ini sekaligus menghalau citra buruk dunia
bisnis sebagai kegiatan yang kotor, licik, dan tipu muslihat. Kegiatan bisnis
mempunyai implikasi etis dan oleh karenanya membawa serta tanggung jawab etis
bagi pelakunya.
Berbisnis dengan etika adalah
menerapkan aturan umum mengenai etika pada perilaku bisnis. Etika bisnis
menyangkut moral, kontak sosial, hak-hak dan kewajiban, prinsip-prinsip dan
aturan-aturan. Jika aturan secara umum mengenai etika mengatakan bahwa berlaku
tidak jujur adalah tidak bermoral dan beretika, maka setiap insan bisnis yang
tidak berlaku jujur dengan pegawainya, pelanggan, kreditur, pemegang usaha
maupun pesaing dan masyarakat, maka ia dikatakan tidak etis dan tidak bermoral.
Intinya adalah bagaimana kita mengontrol diri kita sendiri untuk dapat
menjalani bisnis dengan baik dengan cara peka dan toleransi. Dengan kata lain,
etika bisnis ada untuk mengontrol bisnis agar tidak tamak.
Pelanggaran etika bisa terjadi di
mana saja, termasuk dalam dunia bisnis. Untuk meraih keuntungan, masih banyak
perusahaan yang melakukan berbagai pelanggaran moral. Praktik curang ini bukan
hanya merugikan perusahaan lain, melainkan juga masyarakat dan negara. Praktik
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tumbuh subur di banyak perusahaan.
Dari
sisi etika bisnis, pasar monopoli dianggap kurang baik dalam mencapai
nilai-nilai moral karena pasar monopoli tak teregulasi tidak mampu mencapai
ketiga nilai keadilan kapitalis, efisiensi ekonomi dan juga tidak menghargai
hak-hak negatif yang dicapai dalam persaingan sempurna.
5.3 Etika di dalam Pasar Kompetitif
Pertama,
dalam sebuah sempurna pasar yang kompetitif, pembeli dan
penjual bebas untuk memasuki atau meninggalkan pasar sebagai mereka
pilih. Artinya, individu tidak dipaksa atau dilarang untuk berkecimpung
dalam bisnis tertentu, asalkan mereka memiliki keahlian dan sumber daya
keuangan yang diperlukan.
Kedua,
di sempurna pasar bebas yang kompetitif, semua bursa sepenuhnya
sukarela. Artinya, peserta tidak dipaksa untuk membeli atau menjual apapun
selain dari apa yang mereka secara bebas dan sadar persetujuan untuk membeli
atau menjual.
Ketiga,
tidak ada penjual tunggal atau pembeli sehingga akan mendominasi pasar yang ia
mampu memaksa orang lain untuk menerima syaratnya atau pergi tanpa. Di
pasar ini, kekuatan industri adalah desentralisasi antara perusahaan banyak
sehingga harga dan kuantitas tidak tergantung pada kehendak satu atau beberapa
usaha. Singkatnya, sempurna pasar bebas kompetitif mewujudkan hak
negatif dari kebebasan dari paksaan.
Dengan demikian,
mereka sempurna moral dalam tiga hal penting yaitu :
(a) Setiap terus menerus menetapkan
bentuk kapitalis keadilan.
(b) Bersama-sama mereka
memaksimalkan utilitas dalam bentuk efisiensi pasar.
(c) Masing-masing hal-hal
penting hak-hak negatif tertentu dari pembeli dan penjual.
Tidak ada penjual tunggal atau
pembeli dapat mendominasi pasar yang lain dan memaksa untuk menerima syaratnya.
Jadi, kebebasan kesempatan, persetujuan, dan kebebasan dari paksaan semua
dipertahankan dalam sistem ini.
5.4 Kompetisi
pada pasar ekonomi global
Ekonomi dunia yang mengalami
kemajuan begitu pesat telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan
dan mempertajam persaingan yang semakin rumitnya strategi pembangunan yang
mengandalkan ekspor di satu pihak, hal ini merupakan tantangan dan kendala yang
membatasi. Di pihak lain hal tersebut merupakan peluang baru yang dapat
dimanfaatkan untuk keberhasilan pelaksanaan pembangunan bagi negara yang sedang
berkembang atau maju.
Kompetisi
global merupakan bertuk persaingan yang mengglobal, yang melibatkan beberapa
Negara. Dalam persaingan itu, maka dibutuhkan trik dan strategi serta teknologi
untuk bisa bersaing dengan Negara-negara lainnya. Disamping itu kekuatan modal
dan stabilitas nasional memberikan pengaruh yang tinggi dalam persaingan itu.
Dalam persaingan ini tentunya Negara-negara maju sangat berpotensi dalam dan
berpeluang sangat besar untuk selalu bisa eksis dalam persaingan itu. Hal ini
disebabkan karena :
1.
Teknologi yang dimiliki jauh lebih baik dari Negara-negara berkembang.
2.
Kemampuan modal yang memadai dalam membiayai persaingan global sebagai wujud investasi mereka
3.
Memiliki masyarakat yang berbudaya ilmiah atau IPTEK
Kompetisi
global juga menyebabkan menyempitnya lapangan pekerjaan, terutama masyarakat
lokal, karena kebanyakan pekerjaan dilakukan oleh teknologi, dan Negara-negara
maju menjadi pemasok kebutuhan-kebutuhan, sehingga kita cuma bisa menikmati
hasil yang sudah disuguhkan secara cantik yang sebenarnya merupakan ancaman
yang sangat besar bagi bangsa kita. Dilain sisi, lahan pertanian juga akan
semakin menyempit.
BAB VII
PRESPEKTIF ETIKA
BISNIS DALAM AJARAN ISLAM DAN BARAT, ETIKA PROFESI
7.1 Beberapa
aspek etika bisnis islami
1.
Kesatuan (Tauhid/Unity)
Dalam
hal ini adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang
memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi,
politik, sosial menjadi keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep
konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh.
2.
Keseimbangan (Equilibrium/Adil)
Islam
sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat
curang atau berlaku dzalim. Rasulullah diutus Allah untuk membangun keadilan.
Kecelakaan besar bagi orang yang berbuat curang, yaitu orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain meminta untuk dipenuhi, sementara kalau
menakar atau menimbang untuk orang selalu dikurangi.
3.
Kehendak Bebas (Free Will)
Kebebasan
merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam, tetapi kebebasan itu
tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak
adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya
dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya.
Kecenderungan
manusia untuk terus menerus memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak terbatas
dikendalikan dengan adanya kewajiban setiap individu terhadap masyarakatnya
melalui zakat, infak dan sedekah.
4.
Tanggung jawab (Responsibility)
Kebebasan
tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak
menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. untuk memenuhi tuntunan
keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertaggungjawabkan tindakanya secara
logis prinsip ini berhubungan erat dengan kehendak bebas. Ia menetapkan batasan
mengenai apa yang bebas dilakukan oleh manusia dengan bertanggungjawab atas
semua yang dilakukannya.
5.
Kebenaran: kebajikan dan kejujuran
Kebenaran
dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan,
mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam konteks bisnis
kebenaran dimaksudkan sebagia niat, sikap dan perilaku benar yang meliputi
proses akad (transaksi) proses mencari atau memperoleh komoditas pengembangan
maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkan keuntungan.
7.2 Egoisme Etis
Kata egoisme merupakan istilah yang
berasal dari bahasa Latin yakni ego, yang berasal dari kata Yunani kuno yang
masih digunakan dalam bahasa Yunani modern yang berarti diri atau saya, dan
kata isme, digunakan untuk menunjukkan sistem kepercayaannya.
Egoisme adalah cara untuk
mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang menguntungkan bagi dirinya
sendiri, dan umumnya memiliki pendapat untuk meningkatkan citra pribadi
seseorang dan pentingnya intelektual, fisik, sosial dan lainnya. Egoisme ini
tidak memandang kepedulian terhadap orang lain maupun orang banyak pada umumnya
dan hanya memikirkan diri sendiri
Egoisme
juga merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang
hanya menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah
satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang
dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Hal ini berkaitan erat
dengan narsisme, atau mencintai diri sendiri, dan kecenderungan mungkin untuk
berbicara atau menulis tentang diri sendiri dengan rasa sombong dan panjang
lebar. Egoisme dapat hidup berdampingan dengan kepentingannya sendiri, bahkan
pada saat penolakan orang lain.
7.3 Relativisme
Relativisme
adalah paham yang menganut kebenaran menurut seseorang belum tentu benar
menurut orang lain. Relativisme menganut suatu kebenaran tidak selalu berlaku
pada semua orang di segala tempat dan waktu (kebenaran bersifat relatif).
Sebaliknya Kebenaran Mutlak berlaku pada setiap orang di segala tempat dan
waktu. Paham Relativisme tidak setuju dengan Kebenaran Mutlak / Absolut.
Ketika ada orang yang berteriak
”tidak ada yang mutlak”, bukankah orang tersebut menggunakan kemutlakan untuk
menyatakan ”tidak ada yang mutlak” sehingga orang tersebut tidak konsisten di
dalam sikapnya. Dan sebaliknya jika orang tersebut tidak memutlakan pernyataan
”tidak ada yang mutlak”, maka pernyataan tersebut pun tidak mutlak dipercaya
oleh dirinya sendiri sehingga ada keragu-raguan didalam pernyataannya tersebut.
Oleh karena itu di dalam konsep Relativisme kita menemukan inkonsistensi yang
merupakan Self Defeating Factor pada paham tersebut.
Paham Realtivisme bisa menyatakan
dua hal yang berkontradiksi dapat dikatakan keduanya benar karena kebenaran
adalah relatif. Sebagai contoh jika ada ajaran A yang mengatakan Tuhan itu ada
dan ajaran B yang menyatakan tidak ada Tuhan, maka paham Relativisme dapat
membenarkan kedua ajaran tersebut sehingga ini merupakan suatu hal yang
irasional karena kedua hal yang berkontradiksi tidak mungkin keduanya benar.
Paham Relativisme ini sangat disukai
oleh banyak orang terutama di zaman ini yaitu zaman Postmodern karena setiap
manusia memiliki ego untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah.
Manusia pada zaman ini mempunyai semangat ingin menjadi tuhan atas dirinya
sendiri. Sehingga jika orang berbuat dosa tidak ada yang dapat / boleh menilai
orang itu salah atau tidak dengan demikian orang akan semakin suka berbuat dosa
dan dosa akan semakin meluas di dalam setiap bidang kehidupan. Akibat meluasnya
paham ini, dunia cepat atau lambat akan kehilangan kontrol dan semakin rusak.
Sebagai contoh pernikahan sesama jenis kelamin, bukankah sudah dilegalkan di
beberapa negara, dan mungkin saja dalam beberapa waktu ke depan ada legalisasi
pernikahan antara manusia dengan binatang karena manusia telah kehilangan arah
yang benar.
7.4 Konsep deontology
Istilah
“Deontologi”
berasal dari kata Yunani yang berarti “kewajiban” (Deon) atau keharusan.
Oleh karena itu etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak
secara baik. Menurut perspektif deontologi, suatu tindakan itu baik bukanlah
dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan itu,
melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik menurut dirinya
sendiri. Maka tindakan itu bernilai moral/etis karena tindakan itu dilaksanakan
berdasarkan kewajiban. Atas
dasar pandangan demikian, etika deontologi sangat menekankan pentingnya motif,
kemauan baik, kesadaran dan watak yang kuat dari para pelaku, terlepas dari
akibat yang timbul dari perilaku para pelaku itu.
Konsep
Deontologi
1.
Sistem etika ini hanya menenkankan suatu
perbuatan di dasarkan pada wajib tidaknya kita melakukan perbuatan itu.
2.
Yang disebut baik dalam arti sesungguhnya
hanyalah kehendak yang baik, semua hal lain di sebut baik secara terbatas atau
dengan syarat. Contohnya: kesehatan, kekayaan, intelegensia, adalah baik jika digunakan dengan
baik oleh kehendak manusia. Tetapi jika digunakan oleh kehendak jahat, semua
hal itu menajdi jahat sekali.
3.
Kehendak menjadi baik, jika bertindak karena
kewajiban. Kalau perbuatandilakukan dengan suatu maksud atau motif lain,
perbuatan itu tidak bisa disebut baik, walaupun perbuatan itu suatu
kecendrungan atau watak baik.
4.
Perbuatan dilakukan berdasarkan kewajiban,
bertindak sesuai dengan kewajiban si sebut legalitas. Dengan legalitas kita
memenuhi norma hukum.
7.5 Pengertian
Profesi
Profesi adalah suatu pekerjaan yang
membutuhkan ilmu pengetahuan atau keterampilan khusus sehingga orang yang
memiliki pekerjaan tersebut harus mengikuti pelatihan tertentu agar dapat
melakukan pekerjaannya dengan baik.
Mereka yang berprofesi di
bidang tertentu biasanya disebut dengan profesional, yaitu seseorang yang
memiliki keahllian teknis di bidang tertentu. Misalnya arsitek, dokter,
akuntan, tentara, pengacara, desainer, dan lain sebagainya.
Kata “profesi” diadaptasi dari
bahasa Inggris, yaitu “profession” yang
berasal dari bahasa Latin “professus”.
Kedua kata tersebut memiliki arti yang sama, yaitu mampu atau ahli di bidang
tertentu. Sehingga pengertian profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan
keahlian tertentu yang didapat dari pendidikan tinggi, dimana umumnya mencakup
pekerjaan mental yang didukung dengan kepribadian dan sikap profesional.
Pengertian
Profesi Menurut Para Ahli
1. Peter Jarvis
Menurut Peter Jarvis
(1983:21), pengertian profesi adalah suatu pekerjaan yang sesuai dengan studi
intelektual atau pelatihan khusus dimana tujuannya untuk menyediakan pelayanan
keterampilan bagi orang lain dengan upah tertentu.
2. Hughes E.C
Menurut Hughes E.C (1963),
pengertian profesi adalah suatu pekerjaan di bidang tertentu dimana seorang
profesional memiliki pengetahuan lebih baik dari kliennya mengenai sesuatu yang
terjadi pada klien tersebu.
3. Cogan
Menurut Cogan
(1983:21), pengertian profesi adalah suatu keterampilan khusus yang dalam
prakteknya didasarkan atas suatu struktur teoritis tertentu dari beberapa
bagian ilmu pengetahuan.
7.6 Kode Etik
Kode
etik merupakan suatu sistem norma, nilai serta aturan profesional secara
tertulis yang dengan tegas menyatakan hal baik dan juga benar, serta apa yang
tidak benar dan juga tidak baik bagi profesional. Secara singkat pengertian
kode etik adalah suatu pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis di dalam
melakukan suatu kegiatan ataupun suatu pekerjaan. Kode etik berhubungan
dengan perilaku seseorang.
Pengertian kode etik lainnya adalah suatu aturan
yang tertulis, secara sistematik dengan sengaja di buat, berdasarkan
prinsip-prinsip moral yang ada serta ketika dibutuhkan bisa di fungsikan
sebagai alat yang dapat digunakan menghakimi berbagai macam dari tindakan yang
pada umumnya dinilai menyimpang dari kode etik yang ada. Dalam pembentukannya,
kode etik tentu memiliki tujuan didalamnya yaitu,
- Agar profesional dapat
memberikan jasa dengan sebaik-baiknya kepada para pemakai ataupun para
nasabahnya.
- Sebagai pelindung dari
perbuatan yang tidak profesional.
Ketaatan dari tenaga profesional terhadap kode etik
yang ada merupakan sebuah ketaatan yang naluriah.
Penyelewengan/penyimpangan terhadap norma yang
ditetapkan dan diterima oleh sekelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi
petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin
mutu profesi itu dimata masyarakat dinamakan pelanggaran terhadap kode etik
profesi.
Kode etik bagi sebuah profesi adalah sumpah
jabatan yang juga diucapkan oleh para pejabat Negara. Kode etik dan sumpah
adalah janji yang harus dipegang teguh. Artinya, tidak ada toleransi terhadap
siapa pun yang melanggarnya. Berdasarkan pengertian kode etik, dibutuhkan
sanksi keras terhadap pelanggar sumpah dan kode etik profesi.
Kode etik disusun oleh organisasi profesi sehingga
masing-masing profesi memiliki kode etik tersendiri. Misalnya kode etik dokter,
guru, pustakawan, pengacara, Pelanggaran kode etik tidak diadili oleh
pengadilan karena melanggar kode etik tidak selalu berarti melanggar hukum.
Berapa penelitian yang telah dilakukan menyebutkan
bahwa, ada pun yang menjadi penyebab mengapa terjadi pelanggaran kode etik
yaitu;
- tidak berjalannya kontrol dan
pengawasan dari masyarakat
- organisasi profesi tidak di
lengkapi dengan sarana dan mekanisme bagi masyarakat untuk menyampaikan
keluhan
- rendahnya pengetahuan
masyarakat mengenai substansi kode etik profesi, karena buruknya pelayanan
sosialisasi dari pihak profesi sendiri
- belum terbentuknya kultur dan
kesadaran dari para pengemban profesi untuk menjaga martabat luhur
profesinya
tidak adanya kesadaran etis da moralitas diantara para
pengemban profesi untuk menjaga martabat luhur profesinya
7.7 Prinsip
Etika Profesi
Etika
profesi adalah suatu sikap etis yang dimiliki seorang
profesional sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam mengembang tugasnya
serta menerapkan norma-norma etis umum pada bidang-bidang khusus (profesi)
dalam kehidupan manusia.
Etika profesi atau kode etik
profesi sangat berhubungan dengan bidang pekerjaan tertentu yang berhubungan
langsung dengan masyarakat atau konsumen. Konsep etika tersebut harus
disepakati bersama oleh pihak-pihak yang berada di lingkup kerja tertentu, misalnya;
dokter, jurnalistik dan pers, guru, engineering (rekayasa), ilmuwan, dan
profesi lainnya.
Kode etik profesi ini berperan
sebagai sistem norma, nilai, dan aturan profesional secara tertulis yang dengan
tegas menyatakan apa yang benar/ baik, dan apa yang tidak benar/ tidak baik
bagi seorang profesional. Dengan kata lain, kode etik profesi dibuat agar
seorang profesional bertindak sesuai dengan aturan dan menghindari tindakan
yang tidak sesuai dengan kode etik profesi.
Prinsip
Dasar Etika Profesi
Terdapat beberapa prinsip
dasar yang menjadi landasan dalam pelaksanaan kode etik profesi. Adapaun
prinsip-prinsip etika profesi adalah sebagai berikut:
1. Prinsip Tanggung Jawab
Setiap profesional
harus bertanggungjawab terhadap pelaksanaan suatu pekerjaan dan juga terhadap
hasilnya. Selain itu, profesional juga memiliki tanggungjawab terhadap
dampak yang mungkin terjadi dari profesinya bagi kehidupan orang lain atau
masyarakat umum.
2. Prinsip Keadilan
Pada prinsip ini,
setiap profesional dituntut untuk mengedepankan keadilan dalam menjalankan
pekerjaannya. Dalam hal ini, keadilan harus diberikan kepada siapa saja yang
berhak.
3.
Prinsip Otonomi
Setiap profesional memiliki
wewenang dan kebebasan dalam menjalankan pekerjaan sesuai dengan profesinya.
Artinya, seorang profesional memiliki hak untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dengan mempertimbangkan kode etik profesi.
4.
Prinsip
Integritas Moral
Integritas moral adalah kualitas
kejujuran dan prinsip moral dalam diri seseorang yang dilakukan secara
konsisten dalam menjalankan profesinya. Artinya, seorang profesional harus
memiliki komitmen pribadi untuk menjaga kepentingan profesinya, dirinya, dan
masyarakat.
Fungsi
dan Tujuan Etika Profesi
Menurut Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian, kode etik profesi adalah pedoman sikap, tingkah laku
dan perbuatan dalam melaksanakan tugas dan dalam kehidupan sehari-hari. Mengacu
pada hal tersebut, maka fungsi dan tujuan etika profesi adalah sebagai berikut:
1. Fungsi Kode Etik Profesi
·
Sebagai pedoman bagi semua anggota suatu
profesi tentang prinsip profesionalitas yang ditetapkan.
·
Sebagai alat kontrol sosial bagi
masyarakat umum terhadap suatu profesi tertentu.
·
Sebagai sarana untuk mencegah campur
tangan dari pihak lain di luar organisasi, terkait hubungan etika dalam
keanggotaan suatu profesi.
2. Tujuan Kode Etik Profesi
·
Untuk menjungjung tinggi martabat suatu
profesi.
·
Untuk menjaga dan mengelola
kesejahteraan anggota profesi.
·
Untuk meningkatkan pengabdian para
anggota profesi.
·
Untuk membantu meningkatakan mutu suatu
profesi.
·
Untuk meningkatkan pelayanan suatu
profesi di atas keuntungan pribadi.
·
Untuk menentukan standar baku bagi suatu
profesi.
BAB VIII
PENGERTIAN
BUDAYA ORGANISASI DAN PERUSAHAAN, HUBUNGAN BUDAYA DENGAN ETIKA, KENDALA DALAM
MEWUJUDKAN KINERJA ETIKA BISNIS
8.1 Karakteristik
Budaya Organisasi
Budaya organisasi adalah sebuah sistem makna
bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan suatu organisasi dari
organisasi-organisasi lainnya. Sistem makna bersama ini adalah sekumpulan karakteristik kunci
yang dijunjung tinggi oleh organisasi. Penelitian menunjukkan bahwa ada tujuh
karakteristik utama yang secara keseluruhan, merupakan hakikat budaya
organisasi.
1.
Inovasi dan keberanian mengambil
risiko. Sejauh mana karyawan didorong untuk bersikap inovatif dan berani
mengambil risiko.
2.
Perhatian pada hal-hal rinci. Sejauh
mana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis, dan perhatian pada
hal-hal detail.
3.
Orientasi hasil. Sejauh mana
manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang pada teknik dan proses yang
digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
4.
Orientasi orang. Sejauh mana
keputusan-keputusan manajemen mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas
orang yang ada di dalam organisasi.
5.
Orientasi tim. Sejauh mana
kegiatan-kegiatan kerja di organisasi pada tim ketimbang pada indvidu-individu.
6.
Keagresifan. Sejauh mana orang
bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai.
7.
Stabilitas. Sejauh mana
kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo dalam
perbandingannya dengan pertumbuhan.
8.2 FUNGSI BUDAYA ORGANISASI
Menurut pendapat
Siagian (1992:153) mencatat lima fungsi penting budaya organisasi, yaitu:
1.
Sebagai penentu batas-batas perilaku
dalam arti menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, apa yang
dipandang baik atau tidak baik, menentukan yang benar dan yang salah.
2.
Menumbuhkan jati diri suatu
organisasi dan para anggotanya.
3.
Menumbuhkan komitmen sepada
kepentingan bersama di atas kepentingan individual atau kelompok sendiri.
4.
Sebagai tali pengikat bagi seluruh
anggota organisasi.
5.
Sebagai alat pengendali perilaku para
anggota organisasi yang bersangkutan.
8.3 PEDOMAN TINGKAH LAKU
Antara manusia dan kebudayaan
terjalin hubungan yang sangat erat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Dick
Hartoko bahwa manusia menjadi manusia merupakan kebudayaan. Hampir semua
tindakan manusia itu merupakan kebudayaan. Hanya tindakan yang sifatnya naluriah
saja yang bukan merupakan kebudayaan, tetapi tindakan demikian prosentasenya
sangat kecil. Tindakan yang berupa kebudayaan tersebut dibiasakan dengan cara
belajar. Terdapat beberapa proses belajar kebudayaan yaitu proses
internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi.
Selanjutnya hubungan antara manusia dengan kebudayaan juga dapat dilihat
dari kedudukan manusia tersebut terhadap kebudayaan. Manusia mempunyai empat
kedudukan terhadap kebudayaan yaitu sebagai :
1. Penganut kebudayaan
2. Pembawa kebudayaan manipulator kebudayaan
3. Pencipta kebudayaan
Hal yang dilakukan oleh manusia inilah kebudayaan. Kebudayaan yang
digunakan manusia dalam menyelesaikan masalah-masalahnya bisa kita sebut
sebagai way of life, yang digunakan individu sebagai pedoman dalam bertingkah
laku.
8.4 Apresiasi Budaya
Istilah apresiasi berasal dari bahasa inggris
"apresiation" yang berarti penghargaan,penilaian,pengertian. Bentuk
itu berasal dari kata kerja " ti appreciate" yang berarti menghargai,
menilai,mengerti dalam bahasa indonesia menjadi mengapresiasi. Apresiasi budaya
adalah kesanggupan untuk menerima dan memberikan penghargaan, penilaian,
pengertian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Kebudayaan perlu diapresiasi dengan harapan kita sebagai manusia dapat
memperlihatkan rasa menghargai karya yang dihasilkan dari akal dan budi
manusia. Apresiasi diperlukan untuk tetap menjaga nilai-nilai budaya yang ada
agar tetap hidup dan selalu lestari, juga dapat dikembangkan menjadi lebih
baik. Melalui apresiasi, seorang pencipta dapat memperoleh masukan, ide, saran,
kritik, dan pujian untuk karyanya. Melalui ide, saran, masukan, dan kritik
tersebut jugalah para pencipta diharapkan dapan membuat karya yang lebih baik
lagi.
8.5 HUBUNGAN ETIKA DAN BUDAYA
Etika pada dasarnya adalah standar atau moral yang menyangkut benar-salah,
baik-buruk. Dalam kerangka konsep etika bisnis terdapat pengertian tentang
etika perusahaan, etika kerja, dan etika perorangan, yang menyangkut
hubungan-hubungan sosial antara perusahaan, karyawan dan lingkungannya. Etika
perusahaan menyangkut hubungan perusahaan dan karyawan sebagai satu kesatuan
dengan lingkungannya (misalnya dengan perusahaan lain atau masyarakat
setempat), etika kerja terkait antara perusahaan dengan karyawannya, dan etika
perorangan mengatur hubungan antar karyawan.
Perilaku etis yang telah berkembang dalam perusahaan menimbulkan situasi
saling percaya antar perusahaan dan stakeholder, yang memungkinkan perusahaan
meningkatkan keuntungan jangka panjang. Perilaku etis akan mencegah pelanggan,
pegawai dan pemasok bertindak oportunis, serta tumbuhnya saling percaya.
Budaya perusahaan memberi kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan
perilaku etis, karena budaya perusahaan merupakan seperangkat nilai dan norma
yang membimbing tindakan karyawan. Budaya dapat mendorong terciptanya perilaku,
dan sebaliknya dapat pula mendorong perilaku yang tidak etis. Kebijakan
perusahaan untuk memberikan perhatian serius pada etika perusahaan akan
memberikan citra bahwa manajemen akan mendukung perilaku etis dalam perusahaan.
8.6 PENGARUH ETIKA TERHADAP BUDAYA
Etika seseorang dan etika bisnis adalah satu kasatuan yang terintegrasi
sehingga tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, keduanya saling
melengkapi dalam mempengaruhi perilaku antar individu maupun kelompok, yang
kemudian menjadi perilaku organisasi yang akan berpengaruh terhadap budaya
perusahaan. Jika etika menjadi nilai dan keyakinan yang terinternalisasi
dalam budayau perusahaan, maka akan berpotensi menjadi dasar kekuatan
perusahaan dan akhirnya akan berpotensi menjadi stimulus dalam peningkatan
kinerja karyawan.
Terdapat pengaruh yang signifikan antara etika seseorang dariu tingkatan
manajer terhadap tingkah laku etis dalam pengambilan keputusan. Kemampuan
seorang profesional untuk dapat mengerti dan pekau terhadap adanya masalah
etika dalam profesinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan, sosial budaya, dan
masyarakat dimana dia berada. Budaya perusahaan memberikan sumbangan yang
sangat berartiu terhadap perilaku etis. Perusahaan akan menjadi lebih baik jika
mereka membudayakan etika dalam lingkungan perusahaannya
8.7 Kendala
mewujudkan kinerja bisnis
Etika Bisnis dalam suatu perusahaan dapat
membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam membangun
hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan / mitra kerja, pemegang saham,
masyarakat. Perusahaan meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang
beretika, yakni bisnis dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang
dijalankan dengan mentaati kaidah-kaidah etika sejalan dengan hukum dan
peraturan yang berlaku. Etika Bisnis dapat menjadi standar dan pedoman bagi
seluruh karyawan termasuk manajemen dan menjadikannya sebagai pedoman untuk
melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan dilandasi moral yang luhur, jujur,
transparan dan sikap yang profesional.
Pencapaian
tujuan etika bisnis di Indonesia masih berhadapan dengan beberapa masalah dan
kendala. Keraf(1993:81-83) menyebut beberapa kendala tersebut yaitu:
1. Standar
moral para pelaku bisnis pada umumnya masih lemah.
Banyak di antara pelaku
bisnis yang lebih suka menempuh jalan pintas, bahkan menghalalkan segala cara
untuk memperoleh keuntungan dengan mengabaikan etika bisnis, seperti memalsukan
campuran, timbangan, ukuran, menjual barang yang kadaluwarsa, dan memanipulasi
laporan keuangan.
2. Banyak perusahaan yang
mengalami konflik kepentingan.
Konflik kepentingan ini
muncul karena adanya ketidaksesuaian antara nilai pribadi yang dianutnya atau
antara peraturan yang berlaku dengan tujuan yang hendak dicapainya, atau
konflik antara nilai pribadi yang dianutnya dengan praktik bisnis yang
dilakukan oleh sebagian besar perusahaan lainnya, atau antara kepentingan
perusahaan dengan kepentingan masyarakat.
3. Situasi politik dan
ekonomi yang belum stabil.
Hal ini diperkeruh oleh
banyaknya sandiwara politik yang dimainkan oleh para elit politik, yang di satu
sisi membingungkan masyarakat luas dan di sisi lainnya memberi kesempatan bagi
pihak yang mencari dukungan elit politik guna keberhasilan usaha bisnisnya.
Situasi ekonomi yang buruk tidak jarang menimbulkan spekulasi untuk
memanfaatkan peluang guna memperoleh keuntungan tanpa menghiraukan akibatnya.
4. Lemahnya penegakan
hukum.
Banyak orang yang sudah
divonis bersalah di pengadilan bisa bebas berkeliaran dan tetap memangku
jabatannya di pemerintahan. Kondisi ini mempersulit upaya untuk memotivasi
pelaku bisnis menegakkan norma-norma etika.
5. Belum ada organisasi profesi
bisnis dan manajemen untuk menegakkan kode etik bisnis dan manajemen.
Organisasi seperti KADIN
beserta asosiasi perusahaan di bawahnya belum secara khusus menangani
penyusunan dan penegakkan kode etik bisnis dan manajemen.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sonny Keraf. 1998. Etika
Bisnis dan Relevansinya. Yogyakarta. Kanisius
2. K. Bartens. 2000.
Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta. Kanisius
3. Ketut Rinjin. 2004. Etika
Bisnis dan Implementasinya. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama
4. Erni R. Emawan. 2007.
Bussiness Ethics. Alfabeta. Bandung
5. Agus Arijanto. 2011. Etika
Bisnis Bagi Pelaku Bisnis. Jakarta. Raja Gravindo Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar